BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Negara adalah sebuah kelompok manusia yang
hidup bersama untuk mencapai cita-cita bersama. Oleh karena itu untuk membentuk
sebuah Negara diperlukan banyak aspek yang menunjang terbentuknya Negara.
Sebelum terbentuknya negara perlunya ada tujuan pendirian sebuah negara, adanya
unsur-unsur negara, dan lain sebagainya.
B. Batasan
Masalah
Membahas tentang Negara berarti kita membahas banyak
aspek dan untuk membuat makalah ini tidak melenceng dari pembahasan kita maka
pembahasan pada makalah ini penulis batasi mengenai :
1. Pengertian Negara
2. Tujuan
3. Hubungan Negara dan agama
1. Pengertian Negara
2. Tujuan
3. Hubungan Negara dan agama
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Civic Education dan untuk menambah pengetahuan
bagi penulis dan tentunya bagi pembaca juga.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
KONSEP DASAR TENTANG NEGARA
1. Pengertian Negara
Istilah NEGARA, merupakan terjemahan dari
beberapa kata asing: state (Inggris), staat (Belanda dan Jeraman) atau etat
(Prancis). Kata-kata tersebut berasal dari kata Latin status atau statum yang
memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap[1].
Sedangkan secara terminology , Negara
diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok nasyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.
Negara adalah sebuah kelompok manusia yang
hidup bersama untuk mencapai cita-cita bersama. Negara merupakan asosiasi yang
menyelenggarakan ketertiban suatu masyarakat dalam suatu wilayah melalui sebuah
sistem hukum yang diselenggarakan oleh sebuah pemerintah yang untuk maksud
tersebut diberikan wewenang untuk memaksa[2].
2. Tujuan Negara
Tujuan Negara adalah :
Tujuan Negara adalah :
a. Untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan
tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan.
b. Agar manusia bisa menjalankan kehidupannya
dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing.
c. Untuk
mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan
akhirat.
d. Menyelenggarakan ketertiban hukum, dengan
berdasarkan dan berpedoman pada hukum.
e. Untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Pembukaan UUD
1945).
3. Unsur-Unsur
Negara[3]
Suatu Negara
harus memiliki tiga unsur penting, yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, dan
pengakuan Negara lain.Unsur-unsur pokok dalam Negara ini,berikut akan
dijelaskan masing-masing unsur tersebut.
a.
Rakyat: Rakyat adalah sekumpulan
manusia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu
wilayah tertentu.
b.
Wilayah: Wilayah adalah unsur Negara
yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa ada batas-batas
teritorial yang jelas.
c.
Pemerintah: Pemerintah adalah alat
kelengkapan Negara yng bertugas memimpin organisasi Negara untuk mencapai tujuan
bersama didirikannya sebuah Negara.
d. Pengakuan
negara lain: Bersifat menerangkan tentang adanya Negara,bersifat deklarasi,
bukan konstitusi,sehingga tidak bersifat mutlak.Ada dua macam pengakuan suatu.
Secara umum pemerintahan terbagi dalam dua
bentuk, parlementer dan presidential. Negara dengan sistem presidential
biasanya berbentuk republik dengan presiden sebagai kepala Negara sekaligus sebagai
kepala pemerintahan. Negara dengan sistem parlementer mempunyai presiden (atau
gelar lainnya) sebagai kepala Negara dan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan. Kepala Negara biasanya hanya sebgai symbol persatuan atau secara
teori mempunyai hak untuk memcampuri urusan pemerintahan. Kepala pemerintahan
biasanya muncul dan dipilih dari parlemen, sehingga pemilihan umum di nagara
dengan sistem ini biasanya hanya memilih anggota parlemen.
Dalam prakteknya, monarki memiliki dua jenis
monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut adalah model
pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu.
Sedangkan monarki konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan
kepala negaranya (raja atau ratu) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi Negara.
AGAMA
Agama menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi".
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan bereligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Hubungan agama dan Negara dalam konteks dunia islam masih menjadi
perdebatan yang intensif di kalangan para pakar muslim hingga kini. Menurut
Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk
menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan
lain, politik atau Negara dalam islam hanyalah sebagai alat bagi agama bukan
eksistensi dari agama islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini dipertegas dalam Al-Qur’an surat Al Hadiid ayat
25:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya
Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Al Hadiid (57: 25).
Mengelobarasi padangan Ibnu Taimiyah diatas
Ahmad Syafi’I Maarif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti Negara tidak
dijumpai dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada surat Al-Hasyr
ayat 7:
Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya. Al-Hasyr (59:7).
Tetapi ia tidak bermakna Negara. Istilah
tersebut di pakai secara figruratif untuk melukiskan peredaraan atau pergantian
tangan dari kekayaan.
HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA MODERN
Hubungan Islam dan Negara modern secara teoritis
dapat dikalsifikasikan ke dalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik dan
sekularistik.
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis
dengan pandangan Negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep
agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (Integrated). Faham ini juga memberikan
penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama.
Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama
(din) dan politik atau Negara (dawlah)
2.
Paradigma
Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama
den Negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik
(simbiosis mutualita). Dalam konteks ini, agama membutuhkan Negara sebagi
instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya,
Negara mememerlukan agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan
moral, etika, dan spritualitas warga negaranya.
3.
Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada
pemisah yang jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua
bentuk yang berbeda dan satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah
urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing individu
warga Negara.
ISLAM DAN NEGARA
Peran agama, khususnya Islam, di Indonesia
sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi. Pada saat yang sama
Islam dapat berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya
mampu bersikap inklusif dan toleran terhadap kodrat kemajemukan Indonesia. Negara
memiliki potensi sebagai penompang proses demokrasi yang telah menjelma sebagai
tuntutan global dewasa ini. Negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi proses
demokrasi jika iatampil sebagai kekuatan realatif dan mendominasi berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan ini adalah :
1. Istilah NEGARA, merupakan terjemahan dari
beberapa kata asing: state (Inggris), staat (Belanda dan Jeraman) atau etat
(Prancis). Kata-kata tersebut berasal dari kata Latin status atau statum yang
memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
2. Negara dengan sistem presidential biasanya
berbentuk republik dengan presiden sebagai kepala Negara sekaligus sebagai
kepala pemerintahan. Negara dengan sistem parlementer mempunyai presiden (atau
gelar lainnya) sebagai kepala Negara.
3. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
4. Negara dalam islam hanyalah sebagai alat bagi agama bukan eksistensi dari
agama islam.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari
terdapat banyak kekurangan dan karena oleh karena itu penulis menerima kritik
dan saran untuk penulisan makalah selanjutnya
D A F T A R P U S T A K A
Al Qur’an Al Karim
Mahmud, K.H. Abdullah. 2000. Tata Negara, juz
1. Cet IV. Ponorogo: Darussalam Press
Winarmo, Paradigma Baru Pendidikan
Kewarganegaraan, 2011. Jakarta : PT Bumi Aksara
[1] K.H.
Abdullah Mahmud dan H. Y. Suyoto Arief, Tata Negara, (Darussalam Press,
2000), Juz 1, hal. 1
[2] Winarno,
Paradigma Baru Pendidikan Kewarganagaraan,
2011, (Jakarta: PT Bumi Aksara), hal. 35
[3] Ibid,
hal..36
#Tinggalkan komentar anda dengan sopan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar